disusun oleh:
AGUNG
ROMADHON
( 20210311 )
AGUNG
SATRIO
( 20210312 )
FAHMI
DANU
SAPUTRA
( 29210719 )
HERU
HERMAWAN
( 23210282 )
MUHAMMAD
ALWAN ALBADRANI ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06
UPAYA MENYUSUN HUKUM
EKONOMI INDONESIA
PASCA
TAHUN 2003
Oleh :
PROF. DR.
C.F.G SUNARYATI HARTONO, S.H.
Abstraksi
Salah satu
tujuan Seminar Hukum Nasional ke VIII ini adalah untuk mengetahui
langkah-langkah
apa dibidang hukum yang perlu dilakukan di masa depan,
khususnya dalam
kurun waktu tahun 2004 s.d. 2009. Untuk itu Panitia Penyelenggara telah membagi
semiloka ini ke dalam 4 (empat) Kelompok Kerja (Working Groups), yaitu :
Kelompok Kerja
Polkam
Kelompok Kerja
Kesra
Kelompok Kerja
Ekuin
Kelompok Kerja HAM
Dalam rangka ini
maka Kelompok Kerja Ekuin diharapkan dapat merinci hal-hal apakah yang perlu
diperhatikan agar baik peraturan Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga
hukum yang ada, seperti DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan
maupun berbagai departemen yang secara langsung atau
tidak langsung
berpengaruh terhadap kinerja pelaku ekonomi Indonesia dan/atau asing yang
beroperasi di Indonesia, dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan dan
pembangunan ekonomi yang sudah lama kita cita-citakan.
Untuk itu tentu
saja diperlukan beberapa hal sebagai berikut :
1. Adanya
kesepakatan secara nasional tentang paradigma sistem ekonomi nasional seperti
apa yang harus kita bangun, sesuai dengan kententuan konstitusi-konstitusi
kita, khususnyaPembukaan dan pasal 33 dan 34 juncto pasal 27 dan 28 UUD 1045
yang telah 4 (empat) kali di amandemen;
2. Adanya
interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik antara
para ahli di bidang ekonomi, termasuk para pengusaha dan pengambil keputusan di
bidang hukum (eksekutif, legislatif dan yudikatif);
3. Adanya
kesadaran bahwa bukan saja hukum yang harus tunduk pada tuntutan-tuntutan
ekonomi, seperti di masa Orde Baru, sehingga segala asas hukum harus minggir
demi pencapaian tujuan di bidang ekonomi, tetapi sebaliknya juga, bahwa untuk
mendapat tujuan pembangunan ekonomi, maka langkah-langkah di bidang ekonomi itu
sendiri memerlukan kepastian hukum dan jalur (channel) hukum, sehingga
terjalin sinergi antara bidang hukum dan ekonomi.
Sinergi itu
sendiri diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara sistematik maupun
pembangunan Sistem Hukum Nasional, sehingga pada gilirannya baik Sistem Ekonomi
Nasional maupun Sistem Hukum Nasional akan semakin mantap dalam perspektif
Pembangunan yang Berkelanjutan. Tentu saja sistem ekonomipun harus juga
mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat
lebih lagi mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional secara positif, dan seterusnya.
Tidak seperti dimasa lalu ketika pambangunan hukum diabaikan, dilanggar, bahkan
diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan Penguasa, tetapi
berteriakteriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu
krisis moneter mengancam kelangsungan kehidupan dan pembangunan ekonomi, yang
nota bene disebabkan oleh sikap arogan para ahli dan pelaku ekonomi sendiri,
seakan-akan Hukum hanya merupakan penghambat pembangunan ekonomi saja.
Hukum Sebagai
Sistem
Biasanya orang
hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan peraturan
hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang – undang saja.
Padahal, peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan
sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :
a. asas-asas hukum
(filsafah hukum)
b. peraturan atau
norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2.
peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi
tetap (case law)
4. hukum kebiasaan
5.
konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum
internasional
c. sumber daya
manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum
d. pranata-pranata
hukum
e. lembaga-lembaga
hukum termasuk :
1. struktur
organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan
prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan
prasarana hukum, seperti ;
1. furnitur dan
lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran
2. senjata dan
lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan
pegawai/karyawan
6. anggaran
pembangunan, dan lain-lain
g. budaya hukum,
yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun
yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia
cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka
atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan
tercela.
Tentang Arti
dan Luas Lingkup Hukum Ekonomi
Dalam teori hukum,
istilah “Hukum Ekonomi” merupakan terjemahan dari Economisch Recht (Belanda)
atau Economic Law (Amerika). Sekalipun demikian, pengertian atau
konotasi Economisch Recht di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic
Law di Amerika Serikat.
Sebab pengertian Economisch
Recht (Belanda) sebenarnya berasal dari istilah Droit E’conomique (Perancis)
yang sebelumnya dipakai oleh Farjat dan yang setelah Perang Dunia Kedua
berkembang menjadi Droit de l’economie. Adapun Droit E’conomique adalah
kaidah-kaidah hukum Administrasi Negara (terutama yang berasal dari kekuasaan
eksekutif) yang mulai sekitar tahun 1930an diadakan untuk membatasi kebebasan
pasar di Perancis, demi keadilan ekonomi bagi rakyat miskin, agar tidak hanya
mereka yang berduit saja yang dapat memenuhi kebutuhannya akanpangan, tetapi
agar rakyat petani dan buruh juga tidak akan mati kelaparan. Krisis ekonomi
dunia yang dikenal dengan nama “malaise” di tahun 1930an itulah yang
mengakibatkan adanya koreksi terhadap faham “pasar bebas”, karena ternyata
pemerintah Perancis merasa wajib untuk mengeluarkan peraturan Hukum
Administrasi Negara yang menentukan harga maksimum dan harga minimum bagi
bahan-bahan pokok maupun menentukan izinizin Pemerintah yang diperlukan untuk
berbagai usaha di bidang ekonomi, seperti misalnya untuk membuka perusahaan,
untuk menentukan banyaknya penanaman modal; dan didalam usaha apa modal
ditanamkan; untuk mengimpor atau mengekspor barang, kemana, seberapa dan
sebagainya. Peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara seperti itu dicakup
dengan nama Droit E’conomique (atau Hukum Ekonomi dalam arti sempit).
Kemudian, setelah Perang Dunia Kedua, yaitu sekitar tahun 1945an, negara-negara
Eropa yang harus membangun kembali negaranya dengan bantuan International
Bank for Reconstruction, PBB diwajibkan menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang mendasari keputusan IBRD untuk memberi bantuan kepada negaranegara
yang bersangkutan. Persetujuan internasional antara IBRD dan negara penerima
bantuan dituangkan dalam kebijaksanaan dan peraturan hukum negara penerima
bantuan untuk dilaksanakan, seperti misalnya sampai kini juga terjadi di
Indonesia sejak Orde Baru. Keseluruhan kebijaksanaan dan peraturan hukum yang
tidak hanya terbatas pada Hukum Administrasi Negara saja, tetapi juga mengatur
hal-hal yang termasuk substansi Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang,
Hukum Perdata Internasional, bahkan juga Hukum Acara Perdata dan Pidana,
dicakup dengan nama Droit de l’Economique atau Hukum Ekonomi dalam arti
luas.
Kesimpulan dan
Saran
Maka tidaklah
mengherankan mengapa tidak hanya Hukum Ekonomi amburadul, tetapi juga kehidupan
ekonomi kita begitu sulit “tinggal landas”, kalau “landasan”nya saja belum
ditata dengan baik dan mantap.
Oleh sebab itu di
samping berbagai aspek Hukum Ekonomi yang lain, yang tentu juga harus
diprioritaskan adalah pengaturan berbagai lbentuk usaha (korporasi) pelaku
ekonomi di samping berbagai kontrak, termasuk berbagai hibridanya yang sekarang
sudah dikembangkan, untuk menjaga kepastian hukum, kebenaran dan keadilan bagi
semua pihak yarlg terlibat dalan proses perekonomian dalam dan luar
negeri.
Juga tidak boleh
dilupakan penelitian-penelitian dan pembahasan berbagai aspek Hukum Ekonomi
lnternasional dan Regional yang mempengaruhi perekonomian Indonesia, baik
secara positif, tapi lebih sering lagi secara negatif, seperti antara lain
aspek-aspek hukum dari Letters of Intent dengan IMF, World Bank, dan
lain-lain perjanjian internasional seperti GATT-WTO, AFTA, ASAF dan lain
sebagainya. Tampaklah bahwa tidak hanya bidang Ekonomi harus ditangani secara
konseptual, sistemik dan profesional, tetapi bidang Hukum Ekonomi pun mau tidak
mau juga harus dipelajari, ditekuni, dibahas dan dikembangkan secara
konseptual, sistemik dan profesional, sejalan, searah dan sederap dengan
kebijaksanaan dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi.
Semoga, Seminar
Hukum Nasional VIII ini menjadi titik mula bagi kesadaran ini, dan titik awal
bagi kerjasama yang baik dan sinergis antara para ahli dan pengambil keputusan
di bidang ekonomi dengan para ahli dan pengambil keputusan (baik di bidang
legislatif, eksekutif, yudikatif dan pengawasan) di bidang hukum, demi
kebangkitan bangsa dari keterpurukan ekonomi, politik, hukum, hankam mau pun
sosial politik sejak tahun 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar