Senin, 04 Juni 2012

Hukum Perdata 2

 disusun oleh:

AGUNG ROMADHON                     ( 20210311 )
AGUNG SATRIO                           ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA                 ( 29210719 )
HERU HERMAWAN                       ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )

KELAS : 2 EB 06

Batas-batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana Kaitannya dengan Hukum Pidana Korupsi
Oleh : Hisar Tambunan, SH.,MH
Abstraksi
Sejarah bangsa ini dalam usaha untuk memberantas perbuatan korupsi boleh dibilang telah cukup panjang. Secara formal setidak-tidaknya telah lahir empat generasi undang-undang yakni undang-undang No. 24 Prp tahun 1960, Undang-undang No.3 tahun 1971, undang-undang No.31 tahun 1999, dan terakhir undang-undang No.20 tahun 2001. Semua produk undang-undang itu merupakan kebijakan formulatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kesadaran terhadap pemberantasan korupsi juga dijiwai oleh nilai-nilai yang berubah dari masa ke masa.Kalau pada awal-awal aksi pemberantasan korupsi nilai yang dianut adalah bahwa perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional.Dalam perkembangannya perbuatan korupsi dipandang sebagai penghambat bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, dan pada akhirnya perbuatan korupsi dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas sehingga pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Menyadari hal itu maka lembaga Negara tertinggi, MPR, sampai-sampai mengeluarkan produk berupa Tap No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Keseluruhan usaha diatas harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dalam arti bahwa telah tumbuh kesadaran bersama sedemikian rupa guna melakukan reformasi terhadap substansi perundang-undangan agar legalitas pemberantasan korupsi makin lengkap dan kokoh.Lengkap karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai legalitas bagi pengadilan untuk mengadili terdakwa korupsi makin lengkap.Di samping itu dukungan dari sisi hukum acara, penegak hukum dan masyarakat luas baik nasional maupun internasional serta seluruh sistem yang terkait tidak kalah penting dalam turut memberantas tindak pidana korupsi.
Dari sekian aspek penting yang dapat dibaca dalam pengantar, saya akan melihat bagian tertentu dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi dalam penegakan hukum khususnya proses kriminalisasi yakni perihal aspek perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)dalam hukum perdata atau perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam hukum pidana.
Wederrechtelijk
Bagian itu menjadi penting utamanya dalam konteks kriminalisasi karena sejak keluarnya Undang-undang No.3 Tahun 1971, kata “melawan hukum” yang tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menjadi semacam ‘bestanddeel delict’ atau delik inti dari suatu perbuatan korupsi {Pasal 1 ayat (1) huruf a}. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 mengulanginya lagi dalam Pasal 2 ayat (1)-nya.
Saya akan mulai dari ‘wederrechtelijk’ dalam hukum pidana. Telah diketahui secara luas bahwa suatu perbuatan pidana (strafbaarfeit) intinya adalah feit yang ‘wederrechtelijk’ atau perbuatan yang melawan hukum.Ukuran normatif untuk menentukan dapat dipidananya perbuatan dalam hukum pidana sudahlah jelas karena Hukum Pidana memiliki asas umum yang harus dijunjung tinggi yakni asas legalitas (legality principle), Nullum delictum nulla poena sinepraevia legi poenali –tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya-. Sering juga dipakai istilah ‘Nullum crimen sine lege stricta’ -tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas- yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi jelas bahwa untuk adanya pidana (straf) harus didahului oleh kriminalisasi perbuatan dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum Pidana Korupsi adalah hukum pidana khusus. Sebagai hukum pidana khusus maka asas-asasumum (algemene beginselen) yang terdapat dalam Buku I KUHP berdasar Pasal 103 KUHP dapat berlaku untuk tindak pidana khusus diluar KUHP kecuali ia menentukan lain. Dengan demikian langkah pemberantasan korupsi harus dimulai dan selalu didasarkan pada formulasi perundang-undangan.Hal itu –seperti saya katakana di atas- telah dimulai secara formal pada tahun 1964-.
Kembali kepada persoalan ‘melawan hukum ‘. Diketahui pula bahwa dalam hukum pidana –seperti juga dalam hukum perdata yang akan saya uraikan kemudian- telah terjadi pergeseran pengertian mengenai ajaran sifat melawan hukum. Doktrin yang kemudian terkristal dalam Arrest Hoograad pertama-tama mengartikan melawan hukum sebagai ‘melawan undang-undang’ (wet). Ini harus dimengerti karena apabila kita menengok pada sejarah lahirnya asas legalitas, antara lain karena pertimbangan adanya asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang, sehingga dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et DuCitoyen tahun 1789 dinyatakan :‘Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya’. Mr.Simons adalah salah seorang yang menganut ajaran formil ini.
Ajaran itu mulai bergeser kea rah pendirian melawan hukum yang materiil yang di negeri Belanda pertama-tama ditandai dengan keluarnya Arrest Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919 yaitu LindenbaumCohen Arrest. Dalam Arrest itu H.R Belanda menyatakan bahwa : “Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang
bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”. Mr.Vost adalah salah satu penganut ajaran ini.
Namun demikian, dalam menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan diancam dengan pidana (tentu di lapangan hukum pidana) seperti sudah saya katakan di atas harus tunduk pada asas legalitas (formil) yang tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.Dengan demikian ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif, tidak dianut dalam hukum pidana.Sebaliknya hukum pidana (termasuk Hukum Pidana Indonesia) berpendirian untuk mengikuti ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif. Di negeri Belanda sendiri fungsi negatif ini telah dianut tersebut dalam Arrest Dokter Hewan dari kota Huizen (Putusan H.R. 20 Februari 1933)
Onrechtmatige daad
Telah diketahui dalam lapangan hukum perdata perbuatan melawan hukum biasa di sebut dengan terminology ‘onrechtmatige daad’.Biasanya mendengar kata perbuatan melawan hukum, orang langsung tertuju pada Pasal 1365 BW sebagai aturan yang bersifat genus yang menjadi referensi bagi peraturan-peraturan khusus yang juga mengatur mengenai perbuatan melawan hukum.
Pasal 1365 BW juga biasa disebut sebagai ketentuan all catches atau pasal keranjang sampah. Namun demikian ketentuan tersebut justru merupakan pemicu dan pemacu untuk terjadinya penemuan hukum (rechtsvinding).Melalui pasal ini, hukum yang tidak tertulis menjadi diperhatikan oleh undang-undang.Ini terbukti baik dalam doktrin maupun yurisprudensi di mana telah terjadi pergeseran arti (dari sempit ke arti yang luas). Setidak-tidaknya ada dua putusan H.R. Belanda yang mengartikan perbuatan melawan hukumdalam arti sempit (formil) yakni Arrest 6 Januari 1905 yakni Arrest Mesin Jahit Singer dan Arrest 10 juni 1910 mengenai De Zutphense Juffrouw Arrest.
Pergeseran ke arti yang luas, seperti saya telah jelaskan di atas terlihat dalam Arrest Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919 yaitu Lindenbaum Cohen Arrest. Melawan hukum dipandang sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak subyektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaedah kesusilaan, dan kepatutan dalam masyarakat.
Saya sendiri menganut ajaran yang luas itu. Saya mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang saja tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat.
WederrechtelijkdanOnrechtmatig dalam Hukum Pidana Korupsi
Kiranya batas-batas wederrechtelijk dan onrechtmatige daad sudah jelas seperti apa yang telah saya uraikan di depan. Seperti telah saya katakan bahwa ajaran wederrechtelijk dalam lapangan hukum pidana memiliki dua fungsi yakni fungsi positif dan fungsi negatif.
Hukum pidana korupsi nampaknya menganut kedua fungsi ajaran sifat melawan hukum tersebut di atas. Penjelasan Umum Undang-undang No. 3 tahun 1971 menyiratkan digunakannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif dengan menyebut ‘sarana melawan hukum yang mengandung pengertian formil dan materiil’. Namun demikian dalam praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam arti negatiflah yang telah digunakan. Yurisprudensi mengenai tindak pidana korupsi menyatakan bahwa apabila terdapat keadaan antara lain Negara tidak dirugikan, terdakwa tidak mendapat untung dan kepentingan umum terlayani, maka hapuslah sifat melawan hukumnya perbuatan.
Sedangkan Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 tahun 1999 tegas-tegas menganut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.Pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Hal yang sama juga dijumpai dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang jelas-jelas menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini (Pasal 2-pen-) mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Seperti telah saya nyatakan di depan bahwa perkataan melawan hukum adalah sesuatu yang masih umum (genus) sehingga dengan demikian harus diberi arti yang nyata. Benturan dengan asas legalitas (formil) dalam hukum pidana (positif-KUHP-) dan penghormatan terhadap HAM maka menurut Prof.Indriyanto, penggunaaan ajaran ini (sifat melawan hukum dalam fungsi yang positif) harus digunakan dengan sangat selektif, hati-hati dan ketat.
Menarik untuk dikaji karena RUU-KUHP telah tidak lagi sepenuhnya menganut ajaran legalitas formil melainkan asas legalitas yang materiil, artinya dalam menentukan suatu tindak pidana, tidak lagi semata-mata menyandarkan pada peraturan perundang-undangan melainkan juga pada hukum yang hidup dimasyarakat (living law). Secara ratio legisbisa diterima mengingat kata Prof.Moeljatno bahwa hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.
Variabel lain yang barangkali perlu dikaji pula adalah kenyataan bahwa secara formal, sejak tahun 1999, kita telah memasuki era otonomi daerah. Daerah memiliki kewenangan yang relatif besar dan ini bisa juga termasuk dalam menggali nilai-nilai budaya termasuk hukum setempat yang selama ini tidak terpelihara.
Kedua variable di atas secara paralel akan sangat mendukung bagi pertumbuhan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif disatu sisi- juga sekaligus fungsi yang
negatif- (walaupun harus diingat bahwa harus digunakan secara sangat hati-hati dan ketat). Pada sisi yang lain, hal itu juga bermanfaat dalam mendorong hakim untuk melakukan penggalian dan penemuan hukum (rechtsvinding), yang akhirnya tentu sangat bermanfaat bagi kepentingan legal reform, utamanya dalam kebijakan formulasi dan aplikasi dalam penegakan hukum (pidana korupsi).
Berbeda dengan ajaran sifat melawan hukum materiil (utamanya dalam fungsi yang positif) dalam lapangan hukum pidana, ajaran yang sama dalam hukum perdata lebih leluasa berkembang ditandai dengan banyaknya yurisprudensi MA yang telah menganut ajaran sifat melawan hukum dalam arti yang luas.
Kaitannya dengan problem yang sedang kita bicarakan adalah, adakah peran ajaran melawan hukum dalam hukum perdata kaitannya dengan hukum pidana korupsi?
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya secara normatif, secara umum peran Hukum Perdata dalam turut menegakkan hukum pidana korupsi telah ada antara lain telah tercermin dalam proses kriminalisasi atau pada kebijakan penegakan hukum pada fase formulasi peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ayat 1(a) Undang-undang No. 3 tahun 1971, Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun 1999 telah mencantumkan ‘melawan hukum’. Keduanya diberi arti yang luas, arti mana secara historis merupakan produk dari pergulatan asas dalam lapangan Hukum Perdata.
Kontribusi Hukum Perdata dalam Hukum Pidana Korupsi lebih banyak terletak pada hukum acaranya. Seperti diketahui bahwa Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999 membuka ruang bagi Negara untuk menggugat secara perdata apabila terjadi hal-hal:
a. Penyidik berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana tidak terdapat cukup bukti sedang secara nyata telah terjadi kerugian keuangan Negara;
b. Tersangka meninggal dunia saat penyidikan padahal nyata-nyata telah ada kerugian keuangan negara, gugatannya ditujukan kepada ahli warisnya, dan
c. Terdakwa meninggal dunia saat persidangan padahal nyata-nyata terjadi kerugian negara, gugatan ditujukan kepada ahli warisnya.
Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hukum perdata memang memungkinkan berdasar “Titel Umum” di mana segala hak berikut segala kewajiban dari pewaris, sejak ia meninggal dunia jatuh/beralih sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban ahli warisnya.
Lebih jauh, bahkan Undang-undang No.20 Tahun 2001, dalam Pasal 38 dinyatakan bahwa : “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”.
Selain dari hal di atas oleh karena Undang-undang anti korupsi menempatkan badan hukum (rechtspersonen) sebagai subyek hukum maka pola pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang tersebut dalam Pasal 1367 BW juga berlaku bagi gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi.
Kesimpulan
Akhirnya kita harus sama-sama menyadari bahwa tindak pidana korupsi telah berkembang begitu pesat, sistemik dan merambah ke seluruh lini dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga upaya pemberantasannyapun memerlukan upaya yang sistemik dan luar biasa pula.
Masyarakat internasional sangat menaruh perhatian akan upaya tersebut. United Nations Convention against Corruption pada tataran international dan terakhir masih segar dalam ingatan kita, dalam Forum Law Summit III yang diselenggarakan di Mahkamah Agung pada tataran nasional, tanggal 16 April lalu, kita semua menyadari perlunya langkah strategis pembenahan sistem dan pembaruan hukum merupakan salah satu prasyarat pencegahan perbuatan korupsi.
Dalam tataran formulasi dan aplikasi, peran serta hukum perdata baik hukum perdata formil maupun materiil telah Nampak disana.Namun demikian berhasil/tidaknya penegakan ketentuan normatif akhirnya semua berpulang pada kesungguhan dan profesionalitas para penegak hukum yang berada pada tataran kebijakan aplikasi.

Anti Monopoli 2



disusun oleh:
                   AGUNG ROMADHON                              ( 20210311 )
                        AGUNG SATRIO                                        ( 20210312 )
                        FAHMI DANU SAPUTRA                         ( 29210719 )
                        HERU HERMAWAN                                  ( 23210282 )
                       MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )

KELAS : 2 EB 06
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
ditinjao dari Hlrkom Bisnis
Denny Slamet Pribadi
Universitas Mulawarman Samarinda
Abstract: Vast business development in Indonesia has caused the rise of business groups conglomeration.
This phenomena brings both positive and negative social-economic impacts. The negative is that costumers,
small and middle class business players becoming weakened Monopoly and trust has been a crucial
problem in this country. The larger the company, the larger its possibility to be involved in monopoly. Big
companies and their conglomerations acquisifed almost entire markets and therefore prohibitedsome new
entry barriers consisted of middle-lower business playersfrom entering the markets. The monopoly would
have been formed when a company or agroup of companies had aqnisited 40% of the market. Lmv No 5 Year
1999 On Monopol:, Prohibition and Unhealthy Business Competition, in general contains 6parts ofregulations:
on prohibited types of business contracts, prohibited octivities, dominant position, flze foundation
of Business Competition Monitoring Commission (KPPU), law enforcement and some other rules. This
article seeks to describe several aspects of efforts for preventing unhealthy business competition through
law and regulation in order to create a fair and condusive business atmosphere.
Peluang-peluang usaha yang tercipta selama dasarwsa yang lalu dalarn kenyataannya belum membiat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selamaperiode tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintan yang kurang tepat sehingga pasar menjadi perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang didukung oleh adanya hubungan saling teikait antarapengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-undang dasar 1945.
URGENSI UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI
Sebagai salah satu efek negatif dari eksistensi usaha konglomerat adalah manakala dapat menimbulkan monopoli pasar. Semakin besar snatu perusahaan, tenhl semakin besar pula kemungkinan monopolinya. Dengan menguasai pangsa pasar yang lebih besar dan menghambat para pengusaba baru first e m y barrier) yang umumnya merupakan pengusaha menengah ke bawah. Unsur monopoli ini umumnya telah terbentuk jika suatu perusahaan atau kelompok perusahaan telah menguasai pangsa pasar minimal 40%.
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut, menuntut kita untuk mencern~atdi an menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta dapat dihindarkan pemusatan kekuatan ekonomi pada pe:o:angan atz; ke!orr.pok tertexeL, antzra lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Monopoli dilarang karena berbagai aspek negatiEnya, antara lain:
·         Ketinggian harga Karena tidak ada kompetisi, maka harga produk akan tinggi, ini mendorongtimbulnya infksi hingga merugikan masyarakat has.
·         Excess Profit Yaitu terdapatnya keuntungan di atas keuntungan normal. Karenanya, monopoli merupakan suatu perantara ketidakadilan.
·         Eksploitasi Ini dapat te jadi baik terbadap bwuh dalam bentuk upah, lebih-lebih terhadap konsumen, karena rendahnyamutu produk dan hilangnya hak pilih dari konsumen.
·         Pemborosan Karena perusahaan monopoli cendernng tidak beroperasi pada average cost yang minimum, menyebabkan ketidakhematan perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung oleh konsumen.
·         Entry Barrier Karena monopoli menguasai pangsa pasaryangbesar, maka perusahaan lain terhambat untuk bisa masuk ke bidang perusahasn tersebut, sehingga pada gilirannya nanli akan mematikan usaha kecil.
UNDANG-UNDANG LAWIGAN PW-KTIKMONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHATIDAK SEHAT
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Fraktik Ivionopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat ini secara umum mengandung 6 bagian pengaturan yaitu; tentang perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, komisi pengawas persaingan usaha (KPPU), penegakan hukum serta ketentuan-ketentuan lain. Untuk mengawali pemaparan tentang bagian
pengaturan Undang-undang ini akan dimulai dengan penjelasan tentang beberapa pengertian atau konsep tentang Praktik Monopoli dan Persaingal Tidak Sehat.
Kegiatan yang dilarang
Kegiatan yang dilarang dilakukan diatur dalamBab IV undang-undang h i muiai pasal17-24. kegiatanyang dilarang oleh undang-undang ini adalah bempa: monopoli, mouopsoni, penguasaan pasar dan persekongkoian.
Tentang Posisi Dominan
Tentang posisi dominan diatur dalam Bab V yaknimulai pasal25-29 seperti diuraikan berikut ini:
Bahwa secara umum pelaku usaha dilarangmenggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
·         menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun halitas; atau
·         membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
·         atau
·         menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud di atas apabila:
·         Satu peiaku usaha atau satu iceioinpok peiaku usaha menysai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
·         Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku menguasai 75% (tujuh Puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Tugas, Wewenang Dan Pembiayaan Komisi
Menurut pasal35 UUNomor 5 Tahun 1999, tugas komisi meliputi: (a) melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. (b) melakukan penilaian teihadap
kegiatan usaha dan atan tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan te jadinya praktik monopoli adan atau peisaiilgan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal24; (c) melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan ushaa tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal25 sampai dengan Pasai 28; (d) mengambil tindakan sesuai
dengan wewenang komosi sebagaimana diatur dalam pesal 36; (e) Memberikan saran dan pertirnhangafi terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; (f) Menyusun pedoman dan atau publikasi yang herkaiatan dengan undang-undang ini; (g) Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komosi kepada Presiden dan Dewan Penvakilan Rakyat. Sedangkan wewenang komisi (pasal36) meliputi:
a)      Menerima laporan dari masyarakat dan atau pelaku usahatentang dugaan terjadinya praktik monopoli
b)      dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c)      Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atan tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinyapraktik monopoli dan ztau persaingan usaha tidak sehat;
d)      Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingzn uhasa tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pe!aku usahz atau yang ditexukzz a!& komisi sebagai hasil dan penelitiannya;
e)      Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f)       Memanggil pelaku usaba yang didugatelah melakukan pelanggaran terhadap ketenman undang-undang ini;
g)      Memanggil dan menghadifkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undangundang ini;
h)      Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan humf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
i)        Meminta keterangan dan instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaba yang melznggar ketentuan undang-undang ini;
j)        Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokuken, atau alat bukti lain guna penyelidikan daan atau pemeriksaan;
k)      Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya ke~ugiand i pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
l)        Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang didnga melakukan praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat; I. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang.
Kesimpulan
Timbulnya kelompok-keiompok raksasa konglomerat dalam bisnis usaha memberikan dampak positifnyadan negatif. Dampak positif perkembangan dunia bisnis mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga perekonomian mengalami kemajuan yang pesat pula, namun di sisi la& juga telah menimbulkan dampak negatif berupa tidak terlindunginya usaha kecil maupun konsumen.

Minggu, 03 Juni 2012

Sengketa Ekonomi


disusun oleh:
AGUNG ROMADHON                     ( 20210311 )
AGUNG SATRIO                           ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA                 ( 29210719 )
HERU HERMAWAN                       ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06

PENYELESAIAN SENGKETA Dl BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN
HUALA ADOLF, S.H., LL.M.

Penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan adalah topik kajian yang
cukup penting. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan keuangan suatu negara, topik bahasan ini bahkan menjadi relevan. Dalam beberapa kesempatan, penulis mengemukakan terdapat kaitan erat antara penyelesaian sengketa dengan iklim ekonomi dan keuangan di tanah air.1 Tulisan ini berupaya memenuhi terms of reference Loka Karya Pembangunan Hukum Nasional VIII mengenai topik, substansi dan sasaran masalah-masalah bidang ekuin. Kajian terfokus ke dalam tiga bagian, yaitu sarana penyelesaian sengketa. Bagian kedua mengupas masalah-masalah yang ditemui. Kajian akan melihat masalah kepastian hukum dan pemahaman aparat penegak hukun terhadap instrumen-instrumen hukum di tanah air.
Selanjutnya, bahasan ketiga menekankan aspek-aspek hukum yang dapat menunjang terlaksananya penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan. Dalam ketiga kajian tersebut, tinjauan terhadap lembaga arbitrase akan mendapat tempat yang sedikit lebih banyak. Uraian dalam tulisan inipun dibatasi hanya kepada penyelesaian sengketa di bidang sengketa bisnis (ekonomi dan keuangan). Penyelesaian sengketa di luar bidang itu tidak disentuh. Kesimpulan tulisan ini menegaskan kembali pendapat alm. Prof. Komar
Kantaatmadja, bahwa efektivitas penyelesaian sengketa sangat bergantung pada budaya
hukum masyarakat dalam berperkara.2 Mengingat masih kentalnya budaya hukum ini, penulis menyimpulkan cara terbaik untuk penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan ini adalah menghindari atau mencegah timbulnya sengketa.

A. SARANA
Sarana yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi dan keuangan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara. Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR); kedua, arbitrase;dan ketiga melalui lembaga peradilan.
1. NEGOSIASI dan ADR
Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak.
2. ARBITRASE
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.
3. PENGADILAN
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.

PERMASALAHAN
Penulis melihat adanya 4 (empat) masalah sentral dalam penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan.
a. Masalah Penghormatan Terhadap Hukum
Masalah ini adalah sangatlah sentral. Penaatan atau penghormatan terhadap hukum masih sangat tipis. Penulis melihat mind-set masyarakat terhadap hukum ini harus diubah secara bertahap, berhati-hati dan terencana. Telah cukup banyak upaya-upaya akademis atau pengkajian dilakukan. Diperguruan tinggi atau BPHN, sudah banyak lahir teori-teori mengenai bagaimana penghormatan terhadap hukum ini perlu dilakukan.
b. Kepastian Hukum
Salah satu hal yang pasti mengenai hukum di Indonesia adalah ketidakpastian hukum. Masalah ini gawat, kalau darurat. Kasus-kasus yang tergolong besar yang melibatkan Indonesia di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian hukum ini. Sengketa-sengketa yang mendapat sorotan keras masyarakat internasional, misalnya sengketa Karaha Bodas, antara lain, berawal dari ketidakpastian hukum ini.
c. Kewenangan dan Putusan Badan Arbitrase
Masalah ini sebenarnya masalah lama. Tetapi masalah ini masih terus berlanjut, Seakan-akan kontroversi mengenai masalah ini tiada hentinya. Dalam pernyataannya yang termuat dalam web-site hukum online, Prof. Priyatna Abdurrasyid mengemukakan bahwa 99 % (sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia tidak memahami arbitrase (sic!).
d. Kultur Berperkara Masyarakat
Alm, Prof. Komar Kantaatmadja, melihat kultur masyarakat ini sebagai masalah cukup krusial dalam penyelesaian sengketa. Beliau mengemukakan 4 (empat) masalah kultur ini.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikemukakan disini bahwa masih ada rasa was-was atau perasaan belum yakin untuk mengandalkan secara penuh upaya-upaya penyelesaian sengketa ditanah air. Perbaikan penegakan hukum, SDM, perubahan kultur (yang di sana sini penulis gambarkan pula sebagai mind-set masyarakat terhadap hukum)
musti dan harus terus-menerus dibenahi.
Selagi pembenahan berjalan, tampaknya dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk penyelesaian sengketa dibidang ini adalah agar para pihak mencoba dengan sungguhsungguh supaya sengketa tidak timbul. Kalau pun timbul, cara negosiasi, musyawarah untuk mufakat, win-win solution harus tetap menjadi prioritas utama daripada cara lain yang tersedia.

Pengertian Hukum dan Hukum Ekonomi


disusun oleh:
AGUNG ROMADHON                     ( 20210311 )
AGUNG SATRIO                           ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA                 ( 29210719 )
HERU HERMAWAN                       ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06

UPAYA MENYUSUN HUKUM EKONOMI INDONESIA
PASCA TAHUN 2003
Oleh :
PROF. DR. C.F.G SUNARYATI HARTONO, S.H.
Abstraksi
Salah satu tujuan Seminar Hukum Nasional ke VIII ini adalah untuk mengetahui
langkah-langkah apa dibidang hukum yang perlu dilakukan di masa depan,
khususnya dalam kurun waktu tahun 2004 s.d. 2009. Untuk itu Panitia Penyelenggara telah membagi semiloka ini ke dalam 4 (empat) Kelompok Kerja (Working Groups), yaitu :
Kelompok Kerja Polkam
Kelompok Kerja Kesra
Kelompok Kerja Ekuin
Kelompok Kerja HAM
Dalam rangka ini maka Kelompok Kerja Ekuin diharapkan dapat merinci hal-hal apakah yang perlu diperhatikan agar baik peraturan Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga hukum yang ada, seperti DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan maupun berbagai departemen yang secara langsung atau
tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja pelaku ekonomi Indonesia dan/atau asing yang beroperasi di Indonesia, dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan dan pembangunan ekonomi yang sudah lama kita cita-citakan.
Untuk itu tentu saja diperlukan beberapa hal sebagai berikut :
1. Adanya kesepakatan secara nasional tentang paradigma sistem ekonomi nasional seperti apa yang harus kita bangun, sesuai dengan kententuan konstitusi-konstitusi kita, khususnyaPembukaan dan pasal 33 dan 34 juncto pasal 27 dan 28 UUD 1045 yang telah 4 (empat) kali di amandemen;
2. Adanya interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik antara para ahli di bidang ekonomi, termasuk para pengusaha dan pengambil keputusan di bidang hukum (eksekutif, legislatif dan yudikatif);
3. Adanya kesadaran bahwa bukan saja hukum yang harus tunduk pada tuntutan-tuntutan ekonomi, seperti di masa Orde Baru, sehingga segala asas hukum harus minggir demi pencapaian tujuan di bidang ekonomi, tetapi sebaliknya juga, bahwa untuk mendapat tujuan pembangunan ekonomi, maka langkah-langkah di bidang ekonomi itu sendiri memerlukan kepastian hukum dan jalur (channel) hukum, sehingga terjalin sinergi antara bidang hukum dan ekonomi.
Sinergi itu sendiri diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara sistematik maupun pembangunan Sistem Hukum Nasional, sehingga pada gilirannya baik Sistem Ekonomi Nasional maupun Sistem Hukum Nasional akan semakin mantap dalam perspektif Pembangunan yang Berkelanjutan. Tentu saja sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih lagi mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional secara positif, dan seterusnya. Tidak seperti dimasa lalu ketika pambangunan hukum diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan Penguasa, tetapi berteriakteriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu krisis moneter mengancam kelangsungan kehidupan dan pembangunan ekonomi, yang nota bene disebabkan oleh sikap arogan para ahli dan pelaku ekonomi sendiri, seakan-akan Hukum hanya merupakan penghambat pembangunan ekonomi saja.

Hukum Sebagai Sistem
Biasanya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang – undang saja. Padahal, peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :
a. asas-asas hukum (filsafah hukum)
b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi tetap (case law)
4. hukum kebiasaan
5. konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum internasional
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum
d. pranata-pranata hukum
e. lembaga-lembaga hukum termasuk :
1. struktur organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan prasarana hukum, seperti ;
1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran
2. senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan pegawai/karyawan
6. anggaran pembangunan, dan lain-lain
g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.

Tentang Arti dan Luas Lingkup Hukum Ekonomi
Dalam teori hukum, istilah “Hukum Ekonomi” merupakan terjemahan dari Economisch Recht (Belanda) atau Economic Law (Amerika). Sekalipun demikian, pengertian atau konotasi Economisch Recht di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic Law di Amerika Serikat.
Sebab pengertian Economisch Recht (Belanda) sebenarnya berasal dari istilah Droit E’conomique (Perancis) yang sebelumnya dipakai oleh Farjat dan yang setelah Perang Dunia Kedua berkembang menjadi Droit de l’economie. Adapun Droit E’conomique adalah kaidah-kaidah hukum Administrasi Negara (terutama yang berasal dari kekuasaan eksekutif) yang mulai sekitar tahun 1930an diadakan untuk membatasi kebebasan pasar di Perancis, demi keadilan ekonomi bagi rakyat miskin, agar tidak hanya mereka yang berduit saja yang dapat memenuhi kebutuhannya akanpangan, tetapi agar rakyat petani dan buruh juga tidak akan mati kelaparan. Krisis ekonomi dunia yang dikenal dengan nama “malaise” di tahun 1930an itulah yang mengakibatkan adanya koreksi terhadap faham “pasar bebas”, karena ternyata pemerintah Perancis merasa wajib untuk mengeluarkan peraturan Hukum Administrasi Negara yang menentukan harga maksimum dan harga minimum bagi bahan-bahan pokok maupun menentukan izinizin Pemerintah yang diperlukan untuk berbagai usaha di bidang ekonomi, seperti misalnya untuk membuka perusahaan, untuk menentukan banyaknya penanaman modal; dan didalam usaha apa modal ditanamkan; untuk mengimpor atau mengekspor barang, kemana, seberapa dan sebagainya. Peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara seperti itu dicakup dengan nama Droit E’conomique (atau Hukum Ekonomi dalam arti sempit). Kemudian, setelah Perang Dunia Kedua, yaitu sekitar tahun 1945an, negara-negara Eropa yang harus membangun kembali negaranya dengan bantuan International Bank for Reconstruction, PBB diwajibkan menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun yang mendasari keputusan IBRD untuk memberi bantuan kepada negaranegara yang bersangkutan. Persetujuan internasional antara IBRD dan negara penerima bantuan dituangkan dalam kebijaksanaan dan peraturan hukum negara penerima bantuan untuk dilaksanakan, seperti misalnya sampai kini juga terjadi di Indonesia sejak Orde Baru. Keseluruhan kebijaksanaan dan peraturan hukum yang tidak hanya terbatas pada Hukum Administrasi Negara saja, tetapi juga mengatur hal-hal yang termasuk substansi Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perdata Internasional, bahkan juga Hukum Acara Perdata dan Pidana, dicakup dengan nama Droit de l’Economique atau Hukum Ekonomi dalam arti luas.

Kesimpulan dan Saran
Maka tidaklah mengherankan mengapa tidak hanya Hukum Ekonomi amburadul, tetapi juga kehidupan ekonomi kita begitu sulit “tinggal landas”, kalau “landasan”nya saja belum ditata dengan baik dan mantap.
Oleh sebab itu di samping berbagai aspek Hukum Ekonomi yang lain, yang tentu juga harus diprioritaskan adalah pengaturan berbagai lbentuk usaha (korporasi) pelaku ekonomi di samping berbagai kontrak, termasuk berbagai hibridanya yang sekarang sudah dikembangkan, untuk menjaga kepastian hukum, kebenaran dan keadilan bagi semua pihak yarlg terlibat dalan proses perekonomian dalam dan luar
negeri.
Juga tidak boleh dilupakan penelitian-penelitian dan pembahasan berbagai aspek Hukum Ekonomi lnternasional dan Regional yang mempengaruhi perekonomian Indonesia, baik secara positif, tapi lebih sering lagi secara negatif, seperti antara lain aspek-aspek hukum dari Letters of Intent dengan IMF, World Bank, dan lain-lain perjanjian internasional seperti GATT-WTO, AFTA, ASAF dan lain sebagainya. Tampaklah bahwa tidak hanya bidang Ekonomi harus ditangani secara konseptual, sistemik dan profesional, tetapi bidang Hukum Ekonomi pun mau tidak mau juga harus dipelajari, ditekuni, dibahas dan dikembangkan secara konseptual, sistemik dan profesional, sejalan, searah dan sederap dengan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi.
Semoga, Seminar Hukum Nasional VIII ini menjadi titik mula bagi kesadaran ini, dan titik awal bagi kerjasama yang baik dan sinergis antara para ahli dan pengambil keputusan di bidang ekonomi dengan para ahli dan pengambil keputusan (baik di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif dan pengawasan) di bidang hukum, demi kebangkitan bangsa dari keterpurukan ekonomi, politik, hukum, hankam mau pun sosial politik sejak tahun 1977.

Hukum Perikatan


disusun oleh:
AGUNG ROMADHON                     ( 20210311 )
AGUNG SATRIO                           ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA                 ( 29210719 )
HERU HERMAWAN                       ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06

KEKALAHAN PERTAMINA VS KARAHA BODAS CO DALAM PERADILAN ARBITRASE INTERNASIONAL
HARRY KATUUK
No.Pokok 45 100 15
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Suatu perikatan harus dilakukan secara sukarela, karena perikatan secara yuridis bersandar pada asas kebebasan berkontrak yaitu kesepakatan kontrak itu tidak dipaksakan untuk dilakukan tetapi harus bersumber pada kehendak dan itikad baik. Apabila kontrak telah disepakati dan disahkan maka dasar hukum dari kekuatan suatu kontrak adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian acapkali ditemukan wanprestasi terhadap kontrak yang telah disepakati. Oleh karena itu untuk mengatasi sengketa di antara para pihak ditawarkan cara penyelesaian perkara yaitu melalui peradilan atau penyelesaian perkara di luar pengadilan. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dikenal dengan mediasi dan konsinyasi. Sedangkan penyelesaian perkara di luar peradilan umum dikenal lembaga arbitrase dan lembaga litigasi. Kedua lembaga ini lahir karena undang-undang yang mengatur lembaga peradilan umum yang ada saat ini dipandang kurang mampu untuk menjamin terselesaikannya masalah yang disengketakan. Hal ini disebabkan karena sedemikian banyak masalah harus diselesaikan oleh pihak pengadilan sehingga harus menunggu giliran dan ditambah lagi dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, para pihak lebih suka menggunakan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum/non-litigasi untuk menyelesaikan perkaranya,baik dengan cara mediasi, negosiasi, konsiliasi ataupun arbitrase. Paradigma non-litigasi ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution (Adi Sulistiyono 2006:5).

Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah faktor-faktor apa sajakah penyebab kekalahan Pertamina melawan KBC ?

Tujuan dan Kegunaan
a. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kekalahan Pertamina (mewakili negara) berhadapan dengan KBC, serta untuk mengetahui pula penyebab sehingga putusan arbitrase internasional sulit untuk dieksekusi.
b. Sedangkan kegunaan makalah ini adalah untuk memberikan sumbangsih pemikiran tentang peranan arbitrase internasional bagi pihak yang memilih sengketa untuk diselesaikan oleh lembaga arbitrase di luar peradilan umum yaitu lembaga arbitrase internasional.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase menurut R.Subekti (1981:1) berasal dari bahasa Latin ar bi tr ar e yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolaholah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. Sedangkan Munir Fuady (2000:12) secara teknis merujuk pada orang yang menyelesaikan sengketa di mana arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang sering juga disebut dengan pengadilan wasit. Sehingga para “arbiter“ dalam peradilan arbitrase berfungsi memang layaknya seorang “wasit“ (referee).
Menurut UUArbitrase Pasal 1 butir 1 dikatakan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Atau menurut penafsiran penulis arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang berkompeten menurut undang-undang. Tujuan penanganan sengketa ini adalah untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat.

Dasar Hukum Berarbitrase
Dasar hukum berarbitrase adalah:
a.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
c. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan United Nation Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitrase Awards (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrasi Asing, yang lebih dikenal dengan Konvensi New York 1958).

Ruang Lingkup Arbitrase Internasional
Penjelasan Pasal 66 UUArbitrase menyebutkan bahwa ruang lingkup arbitrase menyangkut kegiatan-kegiatan dalam hukum perdagangan antara lain perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industrial dan hak kekayaan intelektual.
Zaeni Asyhadie (2005:214) mengatakan bahwa ruang lingkup arbitrase jika dilihat dari pengertian arbitrase akan meliputi semua jenis sengketa dalam bidang keperdataan, misalnya sengketa di bidang bisnis, perburuhan/ketenagakerjaan.
Dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC) bermula pada ditandatanganinya Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang terletak di Gunung Karaha dan Telaga Bodas Desa Sukamenak, Garut, Jawa Barat dengan kapasitas listrik 400 Mega Watt. Pertamina sebagai pelaksana mewakili negara dan KBC sebagai pengemban serta PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan sepakat untuk menyelesaikan sengketa di luar peradilan umum melalui peradilan arbitrase internasional. Ketika terjadi wanprestasi KBC mengajukan gugatan perdata kepada Pertamina dan PLN di peradilan Arbitrase Unicitral di Jenewa-Swiss.

Simpulan
Penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan oleh para pihak dengan memilih lembaga arbitrase internasional seyogianya putusan arbiter internacional itu ditaati. Dalam kasus Pertamina melawan KBC terlihat bahwa pihak Pertamina banyak melakukan manuver-manuver hukum yang secara subjektif mengurangi kredibilitas Pertamina sebagai Lembaga Negara yang profesional.
Berbagai upaya hukum mulai negoisasi sampai beracara di peradilan dengan argumen ketertiban umum semuanya ditolak oleh arbiter sehingga Pertamina wajib mentaati kompensasi membayar tuntutan KBC sekitar Rp. 2,1 trilyun. Suatu jumlah yang besar yang merugikan keuangan negara. Uang sejumlah itu apabila Pertamina tidak wanprestasi, dapat digunakan untuk membiayai sekitar 1000 Sekolah selama 1 tahun. Ke depan pemerintah harus tanggap, jangan menganggap remeh gugatan pengemban asing, dan seyogianya juga pihak Indonesia harus siap kapanpun juga untuk membela kepentingan negara untuk melindungi kerugian negara dalam berperkara di luar peradilan, khususnya dalam berarbitrase.

hukum perdata


disusun oleh:
AGUNG ROMADHON                     ( 20210311 )
AGUNG SATRIO                           ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA                 ( 29210719 )
HERU HERMAWAN                       ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06

ARTI PENTINGNYA MEMPERBANDINGKAN HUKUM ADAT DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN MANFAATNYA TERHADAP PEMBANGUNAN HUKUM
A.nuzul
Abstract
The norm of law forming a law system that obtain in a sociep or a natin which it can dlffer with other nation, and its reflection found through law regulatins. The imv system has a similarity anddzfferentiation ofunderlyingsabstances that itform, so it emerges similarity and differentiation in regulate each of law institution.
To know existence the simiiariy anddifferentiation of underlying substances that form the law system form each state, or form eachplace in society life, it needed research or study, and this study become a signgcant matterj+om comparison of law except history of law and sociology of law as the reality science (sein wissenschap). Compare the customary law with code of civil law (KUHPerdata) as a system of law are to know the dtfferentiation and similarity from each its law regulation in a similar law institution to both of these law systems, or to know the causes what forms the background existence the similarity and dzflerentiation of law norms, so it can give useful contribution to construction and development in the domain of civil law in general and in the domain of family law (inheritance law, marriage law) in special.

Pendahuluan
Hukum tidak lepas dari kehidupan manusial, dan hukiun adalah gejala masyarakat yang universal, artinya di mana ada
masyarakat di situ ada hukum (ubi sociotes ibi ius), dan hukum mentpakan bagian dari kebudayaan suahl bangsa,' sehingga menjadi kenyataan bahwa setiap bangsa atau negara mempunyai sistem hukum, sebab setiap hukum membentuk suatu sistem.Berdasarkan pendapat di atas difahami, bahwa setiap hukum memhentuk suatu sistem, hukum mempunyai perbendaharaan istilah (kosa kata) untuk mengungkapkan konsep, peraturan-peraturannya disusun ke
dalam beherapa pengelompokan, dan memiliki tehik untuk mengungkapkan kaidah serta memberi penafsiran, namun dihatasi pada pandangan berdasarkan tertib sosial untuk menentukan bagaimana hukum diterapkan berdasarkan fungsi yang sesungguhnya dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat di atas, ditarik suatu kesimpulan bahwa antara satu sistem hukum dengan sistem hukum yang lain terdapat kesamaan dan perbedaan unsur-unsur pokok yang membentuknya, sehingga lahir persamaan dan perbedaan dalam mengatur setiap lembaga hukum (legal institution).

Pengertian dan Kedudukan Perbandingan Hukum Dalam Ilmu Hukum

  1. Pengertian Perbandingan Hukum Istilah perbandingan hukum dalam babasa belanda disehut dengan rechtsvergelijking; dalam bahasa Jerman disebut dengan Rechfsvergleichrmg; Ca~npar-ative Law (Inggris); Compare (Perancis). Menurut Rene David bahwa sejaah perbandingan hukum dimulai sejak Atistoteles (384-322 SM), yang telah meneliti sebanyak 153 konstitusi Yunani dan heberapa kota lainnya. Politics; Salon (640-558 SM) melakukan studi perbandingan hukurn ketika menyusun hukum Athena. Studi perbandingan hukum berlanjut pada ahad pcrtengahan, waktu itu perbandingan hukum ditujukan untuk memperbandingkan antaia hukum Kanonik (gereja) dengan hukum Romawi, hingga pada abad ke 16 di Inggris telah terjadi suatu perdebatan mengenai kegunaan hukum Kanonik dan hukum kebiasaan. Studi perbandingan tentang hukum kebiasaan di Eropa pada waktu itu telah dijadikan dasar penyusunan asas-asas hukum perdata di Jerman.
  2. Kedudukan Perbandingan Hukum DaIam Ilmu Hukum Dalam konteks kedudukannya dalam ilmu hukum, sebagian pakar di hidang hukum berpendapat bahwa perbandingan hukum mempakan cabang dari ilmu hukum dan sebagian lainqya mengatakan perbandingan hukum bukan cabang dari ilmu hukum melainkan sebagai metode. Meskipun demikian, tulisan ini tidak untuk memperdebatkan kedudukan perbandingan hukum apakah sebagai metode penyelidikan dan atau sebagai cabang ilmu hukum, karena keduaduanya (baik sebagai metode dan maupun sebagai cabang ilmu hukum) sangat memiliki peranan dalam memajukan ilmu hukum.
  3. Memperbandingkan Hukum Adat Dengan KUHPerdata, dan Bidangbidang yang Diperbandingkan
1. Tujuan Setiap hukum yang lahir dengan melalui kesadaran bersama dari masyarakatnya akan menjadi nilai sosial yang hidup diantara mereka, pada giliramya akan menjadi pedoman dalam berperilaku, yang dan padanya dapat dimmuskan asas-asas hukum tertentu dan lebih lanjut akan menjadi dasar perumusan norma hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa dapat herbeda antara satu masyarakat atau bangsa dengan masyarakat atau bangsa lain yang refleksinya ditemukan dalam hukum melalui peraturan-peraturan hukumnya. Dalam mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan cara berpikir, pandangan hidup maupun karakter masyarakat atau satu bangsa dengan bangsa lainnya, dapat diperoleh melalui hasil dari studi perbandingan hukum. Main sehagaimana dikutip oleh Soeroso mengemukakan bahwa perbandingan hukum mempunyai tujuan di dalam membantu para peneliti menyelusuri asal usul perkembangan hukum dari konsepsi yang sarna dari seluruh dunia.
2. Bidang-bidang yang Diperbandingkan Dalam perbandingan hukum yang terpenting adalah membuat kerangka dasar dari hal-ha1 yang ingin diperbandingkan dan untuk keperlnan tersebut dapat disusun suatu paradigma yang didasarkan pada bidangbidang tata hukum, dan atau pengertianpengertian dasar sistem hukum. Amnya, hal-ha1 yang diperbandian sudah tentu mengenai hukum, dan hukum yang diperbandingkan tidak terbatas hanya pada hukum dalam negeri saja (nasional), melainkan juga antara hukum negara-negara lain atau antar hukum nasional yakni bersifat internasional Berdasarkan ha1 tersebut di atas, maka bidang-bidang hukum yang dapat diperbandingkan antara Hukum Adat dengan KUHPerdata sebagai kerangka dasar. Pertama, dalam bidang-bidang tata hukumnya meliputi Hukum Pribadi; Hukum Hma Kekayaan (Hukum Benda, dan Hukum Perikatan serta Hukum Hak Imrnateril); Hukum Keluarga; Hukum Waris. Kedua, mengenai pengertian-pengertian dasar sistem hukumnya dari kedua sistem hukum ini meliputi 5 hal. Pertama, subjek hukum (orang dan badan hukum); kedua, hak dan kewajiban; ketiga, peristiwa hukum; keempat, hubungan hukum; dan kelima, objek hukum.
  1. Manfaat Memperbandingkan Hukum Adat Dengan KUHPerdata dan Kebutuhan yang ,Mendorong Membandingkan Sebagaimana pendapat Rene David” bahwa secara umum perbandingan hukum (comparative law) memiliki kegunaan pada 3 (tiga) topik. Pertama, relevansinya perbandingan hukum dengan riset historis, filosofis, dan yuridis (it is relevant in historicalandphilosophical legal research); kedua, urgensi perbandingan hukum untuk lebih memahami hukum nasional (it is important in order to zmderstand bettet; and therefore to improve, onei own national law); dan ketiga, perbandingan hukum dapat membantu menghayati budaya bangsa-bangsa lain dan lebih dalam kaitannya dengan pembentukan atau pengembangan bubungan antar bangsa (and it assist in thepromotion ofthe understanding of foroign peoples, and therebv contributesto the creation ofcontextfavourable to the development of international relations
Penutup Kegiatan memperbandingkan berbagai sistem hukum yang berbeda oleh para ahli hukum telah berlangsung lama, seperti Von Savigny dalam usahanya untuk menyusun hukum perdata internasional yang bersifat umum dan universal melalui penelusuran inti dari setiap lembaga hukum, serta melakukan kualifikasi-kualifikasi hukum atau apa yang sudah dilakukan van Vollenhoven dalam penyelidikannya mengenai hukum adat dengan masyarakat hukumnya, kemudian menetapkan 19 rechtskringen (lingkungan hukum adat) di Indonesia telah menunjukkan betapa pentingnya perbandingan hukum.