Tema : Krisis Moneter
Tujuan : Untuk
Mengetahui Pengaruh Krisis Moneter Terhadap
Perekonomian Indonesia
Topik : Pengaruh Krisis Moneter Terhadap
Perekonomian Indonesia
Kerangka
Karangan :
1.
Pengertian
1.1 Pengertian Krisis Moneter
2.
Faktor-faktor penyebab krisis moneter.
2.1 Kebijakan Pemerintah Thailand
2.2 Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas
2.3 Tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah
2.4 Utang
luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
2.5 Krisis
moneter kiriman yang berawal dari Thailand
2.6 Kebijakan fiskal dan moneter yang tidak konsisten
2.7 Defisit
neraca berjalan yang semakin membesar
2.8
Penanam modal asing portfolio
2.9 IMF
tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan
2.10
Spekulan domestik ikut bermain
2.11
Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan
2.12 terdapatnya
keterkaitan yang erat dengan yen Jepang
3. Dampak krisis
moneter
3.1 Adanya pemutusan hubungan kerja
3.2 Pemerintah kesulitan menutup APBN
3.3
Naiknya harga-harga barang
3.4
Harga bahan bakar minyak naik
3.5 Hutang luar negeri dalam rupiah melonjak
3.6 Investasi menurun
3.7 Biaya
sekolah di luar negeri melonjak
3.7 Kemiskinan
4. Solusi
pemecahan masalah krisis moneter
4.1 Kebijakan makro
4.2 Kebijakan mikro
Krisis
moneter adalah ketidakseimbangan ekonomi suatu negara yang disebabkan oleh
hancurnya sistem pemerintahan yang berdampak pada sistem pemerintahan dan
sistem perekonomian suatu negara.
Krisis
moneter di Indonesia berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli
1997 untuk mengembangkan mata uang Thailand Bath terhadap Dollar US. Selama itu
mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang
tetap. Devaluasi mendadak dari Bath ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata
uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.
Selain
itu faktor-faktor penyebab krisis moneter lainnya adalah pertama, dianutnya
sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut
rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang
yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas
membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas
diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di
pusat-pusat keuangan di luar negeri.
Kedua, tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah, yang berada di bawah nilai tukar
nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah
dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif
lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam rupiah, dan produk dalam
negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah
yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga
barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal,
sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya
produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan
impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang
nyata.
Ketiga, akar
dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak
tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya,
ditambah sistem perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar
negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar,
bahkan sudah jauh melampaui hutang resmi pemerintah yang beberapa tahun
terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt).
Keempat, permainan
yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak
mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia
pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal
relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah
menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
Kelima, kebijakan
fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan pita
batas intervensi. Sistem ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar
rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi ini
dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997. Ketidakmampuan pemerintah menangani
krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing
untuk memberi bantuan finansial dengan cepat.
Keenam, defisit
neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan karena laju peningkatan
impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga
pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang
membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan
produk dalam negeri.
Ketujuh, penanam
modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diiming-imingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar. Selisih
tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan
memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek,
ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak
1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai
tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus
mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang
tinggi atas surat-surat berharga Indonesia. Kesalahan juga terletak pada
investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko.
Kedelapan, IMF
tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia
juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. IMF sendiri dinilai
banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah
telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
Kesembilan,
spekulan domestik ikut bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata
menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan
untuk bermain.
Kesepuluh, terjadi
krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik
keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di
mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya
Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu
bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi
ketidakstabilan politik dalam negeri.
Dan yang terakhir,
terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah
terhadap dollar AS. Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga
mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata
uang negara-negara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara
Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang
melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun
1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang
dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen,
sehingga menimbulkan krisis keuangan.
Krisis
Moneter mempunyai dampak terhadap perekonomian Indonesia yaitu adanya pemutusan hubungan kerja, kesulitan
menutup APBN, harga barang-barang naik, harga bahan bakar minyak naik, hutang
luar negeri dalam rupiah melonjak, banyak perusahaan yang tutup atau mengurangi
produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban hutang yang tinggi,
investasi menurun karena impor barang modal menjadi mahal, biaya sekolah di
luar negeri melonjak. Selain itu dampak dari krisis moneter yang berkepanjangan
adalah kemiskinan. Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari
jatuhnya nilai tukar rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
antara penghasilan yang berkurang karena PHK atau naik sedikit dengan
pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang tinggi, sehingga
bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya maka biaya besar
yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara
drastis.
Masalah-masalah
tersebut dapat diatasi sehingga roda perekonomian bisa berputar kembali dan
meskipun tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter, yaitu
dengan cara melakukan 2 kebijakan : yang pertama, kebijaksanaan
ekonomi makro,
Kebijaksanaan ekonomi makro yang bisa dilakukan adalah
melalui
kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran
berimbang, dengan membatasi defisit
anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan
tambahan dana dari luar negeri.
Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang
tinggi selain dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan aggregat, juga
untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di sektor perbankan. Meskipun
demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat
menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap
kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh
karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi
secara bertahap akan diturunkan pada tingkat yang wajar seiring dengan
menurunnya laju inflasi.
Yang kedua adalah
kebijaksanaan ekonomi mikro. Kebijaksanaan ekonomi mikro yang bisa ditempuh
pemerintah adalah dengan dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi
program penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan
tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta
penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok
masyarakat berpendapatan rendah, menyehatkan sistem perbankan dan memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan, merestrukturisasi hutang luar
negeri, mereformasi struktural di sektor riil, dan mendorong ekspor.